Kamis, 17 Januari 2013

VOKALIS BAND HARDCORE + GURU TK


Pede Manggung Berjilbab meski Fans Anggap Aneh. Kehidupan yang dilakoni Asri Yuniar ini bisa dikategorikan ekstrem. Di satu sisi, dia adalah vokalis band dengan aliran musik Hardcore. Pada sisi lain, dia merupakan guru TK yang sehari-hari berjilbab. Penampilan Asri sehari-hari sangat santai. Ketika ditemui Jawa Pos (grup Radar Lampung) di sebuah art center di kawasan Dago, Bandung, Rabu lalu (19/10), dia mengenakan sepatu teplek, celana jins, kaus oblong dengan baju rangkepan di dalamnya, serta berjilbab merah. Gaya bicaranya juga santai, terkesan malu-malu dengan logat Sunda yang sangat kental. Senyumnya tak pernah sekalipun surut. Achi, sapaan akrab Asri Yuniar, memang sering nongkrong di kawasan itu bersama teman-temannya personel grup band Gugat. Di grup band yang musiknya beraliran hardcore itu, Achi adalah sang vokalis. Suara maupun aksinya bisa dilihat di YouTube. Salah satu masterpiece Gugat adalah lagu yang bertajuk Kelam. Hingga kini, lagu tersebut sudah diunduh 12.851 orang. Fanspage di situs Facebook mereka juga sudah mencapai 9.605 penggemar.
Gugat merupakan band ketiga bagi Achi. Saat duduk di bangku SMA, dia sempat mendirikan band bernama Capability yang semua personelnya perempuan. Mereka paling sering membawakan lagu Nirvana yang beraliran grunge. Sayangnya, band tersebut tak bertahan lama. Achi lantas mendirikan band lagi bernama Dining Out. Achi remaja seolah tak mengenal boyband yang saat itu menjamur. Dining Out bertahan cukup lama, hingga 2003. Merasa jenuh, pada 2004, dia lantas membentuk Gugat yang bertahan hingga saat ini. Kecintaannya pada musik cadas tersebut bermula saat Achi remaja sering menyaksikan band-band hardcore beraksi di GOR Saparua, Bandung.  ’’Dulu, kami kalau perform pasti selalu minta sebelum magrib. Sebab, saya memang tidak boleh pulang setelah magrib. Karena itu, kalau ada yang mengundang, kami pasti meminta syarat untuk tampil sebelum magrib,’’ ucap perempuan berusia 29 tahun tersebut. Terus berkutat dengan musik dan lingkungan penggemar hardcore juga sempat membuat perilaku Achi menyimpang. Dengan blak-blakan, dia mengungkapkan, saat SMA dirinya senang ngeganja, alcoholic, serta penikmat rokok. Semua itu awalnya hanya iseng dilakukan. Apalagi, teman-teman ceweknya juga mau. ’’Saya kalau narik (memakai ganja) juga sama teman-teman cewek. Saya itu parno kalau narik, minum, atau ngerokok di depan cowok,’’ tegas alumnus Unpad jurusan sastra itu. Tetapi, semua kelakuan minus tersebut mulai hilang sejak dirinya memutuskan untuk berjilbab. Sejak itu, dia sama sekali tak menyentuh ganja maupun minuman beralkohol. Namun, sesekali dia memang masih merokok. Achi akhirnya benar-benar berhenti merokok setelah bertemu Hari Gartika yang kini menjadi pendamping hidupnya. ’’Saya dulu juga sama dengan Achi. Semua hal saya coba. Mulai rokok, alkohol, sampai narik. Tetapi akhirnya berhenti total. Bahkan, saya tak merokok sama sekali saat ini. Bedanya dari Achi, saya tidak suka musik hardcore. Grup band paling keras yang saya suka paling cuma Smashing Pumpkins,’’ tutur Hari. Dia juga tak berkeberatan atas status Achi sebagai vokalis grup hardcore. Dia bahkan total mendukung sang istri. Lelaki 32 tahun itu juga mengaku tak risi karena sang istri memakai jilbab ketika beraksi di panggung. Sebagai bentuk dukungan, Hari sering mengajak si buah hati, Runa Arieta Dzakirah, yang saat ini berusia empat tahun untuk menyaksikan Gugat beraksi.
Peran Achi tentu tak bisa dianggap remeh di Gugat. Selain vokalis, dia berperan sebagai pencipta lirik. Untaian kata dalam lagu Kelam dan Kamuflase merupakan contoh buah karyanya. Dia lebih sering memilih fenomena sosial untuk dituangkan menjadi lirik. Meski, sesekali juga pengalaman pribadi maupun orang-orang terdekatnya. ’’Lagu Kelam itu saya buat pas ibu meninggal. Kalau lagu Bapakku Seorang Demonstran, saya terinspirasi ayah saya yang hingga saat ini masih aktif demo. Beliau adalah korban PHK PT Dirgantara Indonesia (DI). Kalau pulang demo, ayah selalu cerita pengalamannya,’’ ucap dia. Achi sebenarnya masih suka demam panggung jika sedang perform. Meski sudah malang melintang, rasa nervous tetap saja menggelayutinya. Persis seperti saat dirinya memutuskan untuk mengenakan jilbab. ’’Dulu teman-teman meminta saya melepas jilbab. Mereka bilang saya aneh karena vokalis hardcore kok memakai jilbab. Para fans juga mungkin merasa janggal. Tetapi, saya cuek saja. Untungnya, saya belum pernah mendapat perlakuan atau kejadian yang tak mengenakkan,’’ ungkap Achi. Perasaan aneh juga dia alami saat pertama mengajar murid-murid TK. Selain berstatus vokalis band hardcore, Achi menjadi guru di TK Kuncup Harapan Bandung. Itu adalah TK warisan sang ibu. Achi menjalankan peran itu sejak 2006. ’’Awalnya, saya sempat bekerja di sebuah bank swasta sebagai tenaga marketing. Tetapi, saya tidak nyaman karena harus mengenakan kemeja atau celana kain. Saat itu, saya merasa bukan menjadi diri saya. Akhirnya hanya bertahan tiga bulan,’’ ungkapnya. Setelah sempat menganggur, dia akhirnya ditawari mengajar di TK tersebut. Itu juga merupakan tanggung jawab moralnya kepada sang ibu. Meski sebenarnya, dia bisa saja mencari pekerjaan lain. Apalagi, bekerja di TK tersebut sama sekali tak memberikan keuntungan material. Bayangkan, saat pertama bekerja, dia hanya digaji Rp150 ribu per bulan. Saat ini atau setelah hampir enam tahun bekerja, gajinya juga hanya Rp300 ribu. Jumlah tersebut tentu di bawah nominal yang dia dapat ketika perform. Itu masih ditambah ’’siksaan’’ yang dialami terkait busana. Sama seperti saat menjadi tenaga marketing, Achi mesti mengenakan celana kain, kemeja, hingga blazer. Namun, busana yang paling menyiksa adalah baju pink. Sebab, dirinya penggemar berat warna hitam yang seolah menjadi ciri grup-grup band beraliran hardcore. Tetapi, kehidupan di TK yang menampung 40 murid tersebut memang memberikan ketenteraman batin tersendiri bagi Achi. Sekaligus menghilangkan kepenatan karena berbagai kesulitan yang membelenggunya. Pembatalan konser, contohnya. Beberapa waktu lalu, Gugat juga sempat dilarang perform karena dianggap bakal memantik kerusuhan. Padahal, band-band pembuka lebih dulu beraksi. Selain itu, minimnya intensitas manggung membuat Achi resah. Saat ini, Gugat paling hanya manggung sebulan sekali. Padahal dulu mereka bisa lumayan sering perform. ’’Anak-anak itu lucu. Kadang juga orang tuanya yang lucu. Kadang orang tuanya yang godain saya dengan mengucapkan salam, tetapi suaranya diserak-serakin seperti saat saya menyanyi. Sejauh ini, tak ada masalah antara profesi saya sebagai vokalis dan guru,’’ ucap Achi.
Saat ini, terdapat sekitar tiga ribu fans berat Gugat yang tersebar di seluruh Indonesia. Band yang diawaki Achie bersama empat personel lainnya, yakni Iman (drum), Okid (vokal), Oce (gitar), dan Bayu (bas). Achie dan Okid berperan sebagai penulis lirik lagu yang terinspirasi dari pengalaman pribadi mereka. "Saya merasa nyaman dengan musik underground karena bebas berekspresi. Musik ini juga banyak mengeksplorasi sisi kelam kehidupan yang jarang tersentuh oleh aliran musik lain," katanya. Dengan perasaan itu, rasanya mustahil bagi Achie untuk meninggalkan dunia musik ini. Sikapnya yang konsisten dengan menjaga profesionalitas -antara pekerjaan sebagai guru TK dan sebagai vokalis band hardcore- berhasil menuai hormat dari orang-orang di sekelilingnya. Sejumlah orang tua murid di TK tempatnya mengajar malah sampai menggelar nonton bareng aksi panggung "Gugat" pada beberapa kesempatan. Beberapa murid Achie bahkan sangat mengaguminya sehingga mereka bercita-cita menjadi penyanyi rock saat dewasa kelak. "Pelajaran terbesar yang saya dapat dari musik ini adalah filosofi do it yourself atau kemandirian dan selalu berkarya. Salah besar jika orang selalu mengidentikkan kami dengan sesuatu yang negatif. Saya buktinya. Saya seorang guru, seorang ibu, dan seorang pencinta musik hardcore," tuturnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar