Pede
Manggung Berjilbab meski Fans Anggap Aneh. Kehidupan yang dilakoni Asri Yuniar
ini bisa dikategorikan ekstrem. Di satu sisi, dia adalah vokalis band dengan
aliran musik Hardcore. Pada sisi lain, dia merupakan guru TK yang sehari-hari
berjilbab. Penampilan Asri sehari-hari sangat santai. Ketika ditemui Jawa Pos
(grup Radar Lampung) di sebuah art center di kawasan Dago, Bandung, Rabu lalu
(19/10), dia mengenakan sepatu teplek, celana jins, kaus oblong dengan baju
rangkepan di dalamnya, serta berjilbab merah. Gaya bicaranya juga santai,
terkesan malu-malu dengan logat Sunda yang sangat kental. Senyumnya tak pernah
sekalipun surut. Achi, sapaan akrab Asri Yuniar, memang sering nongkrong di
kawasan itu bersama teman-temannya personel grup band Gugat. Di grup band yang
musiknya beraliran hardcore itu, Achi adalah sang vokalis. Suara maupun aksinya
bisa dilihat di YouTube. Salah satu masterpiece Gugat adalah lagu yang bertajuk
Kelam. Hingga kini, lagu tersebut sudah diunduh 12.851 orang. Fanspage di situs
Facebook mereka juga sudah mencapai 9.605 penggemar.
Gugat merupakan band
ketiga bagi Achi. Saat duduk di bangku SMA, dia sempat mendirikan band bernama
Capability yang semua personelnya perempuan. Mereka paling sering membawakan
lagu Nirvana yang beraliran grunge. Sayangnya, band tersebut tak bertahan lama.
Achi lantas mendirikan band lagi bernama Dining Out. Achi remaja seolah tak
mengenal boyband yang saat itu menjamur. Dining Out bertahan cukup lama, hingga
2003. Merasa jenuh, pada 2004, dia lantas membentuk Gugat yang bertahan hingga
saat ini. Kecintaannya pada musik cadas tersebut bermula saat Achi remaja
sering menyaksikan band-band hardcore beraksi di GOR Saparua, Bandung. ’’Dulu, kami kalau perform pasti selalu minta
sebelum magrib. Sebab, saya memang tidak boleh pulang setelah magrib. Karena
itu, kalau ada yang mengundang, kami pasti meminta syarat untuk tampil sebelum
magrib,’’ ucap perempuan berusia 29 tahun tersebut. Terus berkutat dengan musik
dan lingkungan penggemar hardcore juga sempat membuat perilaku Achi menyimpang.
Dengan blak-blakan, dia mengungkapkan, saat SMA dirinya senang ngeganja,
alcoholic, serta penikmat rokok. Semua itu awalnya hanya iseng dilakukan.
Apalagi, teman-teman ceweknya juga mau. ’’Saya kalau narik (memakai ganja) juga
sama teman-teman cewek. Saya itu parno kalau narik, minum, atau ngerokok di
depan cowok,’’ tegas alumnus Unpad jurusan sastra itu. Tetapi, semua kelakuan
minus tersebut mulai hilang sejak dirinya memutuskan untuk berjilbab. Sejak
itu, dia sama sekali tak menyentuh ganja maupun minuman beralkohol. Namun,
sesekali dia memang masih merokok. Achi akhirnya benar-benar berhenti merokok
setelah bertemu Hari Gartika yang kini menjadi pendamping hidupnya. ’’Saya dulu
juga sama dengan Achi. Semua hal saya coba. Mulai rokok, alkohol, sampai narik.
Tetapi akhirnya berhenti total. Bahkan, saya tak merokok sama sekali saat ini.
Bedanya dari Achi, saya tidak suka musik hardcore. Grup band paling keras yang
saya suka paling cuma Smashing Pumpkins,’’ tutur Hari. Dia juga tak
berkeberatan atas status Achi sebagai vokalis grup hardcore. Dia bahkan total
mendukung sang istri. Lelaki 32 tahun itu juga mengaku tak risi karena sang
istri memakai jilbab ketika beraksi di panggung. Sebagai bentuk dukungan, Hari
sering mengajak si buah hati, Runa Arieta Dzakirah, yang saat ini berusia empat
tahun untuk menyaksikan Gugat beraksi.
Peran Achi tentu tak bisa dianggap remeh
di Gugat. Selain vokalis, dia berperan sebagai pencipta lirik. Untaian kata
dalam lagu Kelam dan Kamuflase merupakan contoh buah karyanya. Dia lebih sering
memilih fenomena sosial untuk dituangkan menjadi lirik. Meski, sesekali juga
pengalaman pribadi maupun orang-orang terdekatnya. ’’Lagu Kelam itu saya buat
pas ibu meninggal. Kalau lagu Bapakku Seorang Demonstran, saya terinspirasi ayah
saya yang hingga saat ini masih aktif demo. Beliau adalah korban PHK PT
Dirgantara Indonesia (DI). Kalau pulang demo, ayah selalu cerita
pengalamannya,’’ ucap dia. Achi sebenarnya masih suka demam panggung jika
sedang perform. Meski sudah malang melintang, rasa nervous tetap saja
menggelayutinya. Persis seperti saat dirinya memutuskan untuk mengenakan
jilbab. ’’Dulu teman-teman meminta saya melepas jilbab. Mereka bilang saya aneh
karena vokalis hardcore kok memakai jilbab. Para fans juga mungkin merasa janggal.
Tetapi, saya cuek saja. Untungnya, saya belum pernah mendapat perlakuan atau
kejadian yang tak mengenakkan,’’ ungkap Achi. Perasaan aneh juga dia alami saat
pertama mengajar murid-murid TK. Selain berstatus vokalis band hardcore, Achi
menjadi guru di TK Kuncup Harapan Bandung. Itu adalah TK warisan sang ibu. Achi
menjalankan peran itu sejak 2006. ’’Awalnya, saya sempat bekerja di sebuah bank
swasta sebagai tenaga marketing. Tetapi, saya tidak nyaman karena harus
mengenakan kemeja atau celana kain. Saat itu, saya merasa bukan menjadi diri
saya. Akhirnya hanya bertahan tiga bulan,’’ ungkapnya. Setelah sempat
menganggur, dia akhirnya ditawari mengajar di TK tersebut. Itu juga merupakan
tanggung jawab moralnya kepada sang ibu. Meski sebenarnya, dia bisa saja
mencari pekerjaan lain. Apalagi, bekerja di TK tersebut sama sekali tak
memberikan keuntungan material. Bayangkan, saat pertama bekerja, dia hanya
digaji Rp150 ribu per bulan. Saat ini atau setelah hampir enam tahun bekerja,
gajinya juga hanya Rp300 ribu. Jumlah tersebut tentu di bawah nominal yang dia
dapat ketika perform. Itu masih ditambah ’’siksaan’’ yang dialami terkait
busana. Sama seperti saat menjadi tenaga marketing, Achi mesti mengenakan
celana kain, kemeja, hingga blazer. Namun, busana yang paling menyiksa adalah
baju pink. Sebab, dirinya penggemar berat warna hitam yang seolah menjadi ciri
grup-grup band beraliran hardcore. Tetapi, kehidupan di TK yang menampung 40
murid tersebut memang memberikan ketenteraman batin tersendiri bagi Achi.
Sekaligus menghilangkan kepenatan karena berbagai kesulitan yang
membelenggunya. Pembatalan konser, contohnya. Beberapa waktu lalu, Gugat juga
sempat dilarang perform karena dianggap bakal memantik kerusuhan. Padahal,
band-band pembuka lebih dulu beraksi. Selain itu, minimnya intensitas manggung
membuat Achi resah. Saat ini, Gugat paling hanya manggung sebulan sekali.
Padahal dulu mereka bisa lumayan sering perform. ’’Anak-anak itu lucu. Kadang
juga orang tuanya yang lucu. Kadang orang tuanya yang godain saya dengan
mengucapkan salam, tetapi suaranya diserak-serakin seperti saat saya menyanyi.
Sejauh ini, tak ada masalah antara profesi saya sebagai vokalis dan guru,’’
ucap Achi.
Saat ini, terdapat sekitar tiga ribu fans berat Gugat yang tersebar
di seluruh Indonesia. Band yang diawaki Achie bersama empat personel lainnya,
yakni Iman (drum), Okid (vokal), Oce (gitar), dan Bayu (bas). Achie dan Okid
berperan sebagai penulis lirik lagu yang terinspirasi dari pengalaman pribadi
mereka. "Saya merasa nyaman dengan musik underground karena bebas
berekspresi. Musik ini juga banyak mengeksplorasi sisi kelam kehidupan yang
jarang tersentuh oleh aliran musik lain," katanya. Dengan perasaan itu,
rasanya mustahil bagi Achie untuk meninggalkan dunia musik ini. Sikapnya yang
konsisten dengan menjaga profesionalitas -antara pekerjaan sebagai guru TK dan
sebagai vokalis band hardcore- berhasil menuai hormat dari orang-orang di sekelilingnya.
Sejumlah orang tua murid di TK tempatnya mengajar malah sampai menggelar nonton
bareng aksi panggung "Gugat" pada beberapa kesempatan. Beberapa murid
Achie bahkan sangat mengaguminya sehingga mereka bercita-cita menjadi penyanyi
rock saat dewasa kelak. "Pelajaran terbesar yang saya dapat dari musik ini
adalah filosofi do it yourself atau kemandirian dan selalu berkarya. Salah
besar jika orang selalu mengidentikkan kami dengan sesuatu yang negatif. Saya
buktinya. Saya seorang guru, seorang ibu, dan seorang pencinta musik
hardcore," tuturnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar